Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam
hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi
mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di
Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2
ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-
Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar
Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan sengketa
mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan
internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui
pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini
hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan
dapat ditempuh melalui:
1. Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah
pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas
oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku
pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara
penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah
disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting
dalam arbitrase adalah; (a) perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap
proses arbitrase, dan (b) sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum.
(Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya
persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri
dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk
oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang
diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau
arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan
perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan
compromis (kompromi) yang memuat; (a) persetujuan para pihak untuk terikat
pada keputusan arbitrase, (b) metode pemilihan panel arbitrase, (c) waktu dan
tempat hearing (dengar pendapat), (d) batas-batas fakta yang harus
dipertimbangkan, dan (e) prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus
diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase
internasional, antara lain (a) Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional
(Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce) yang
didirikan di Paris, tahun 1919, (b) pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman
Modal Internasional (International Centre for Settlement of Investment
Disputes) yang berkedudukan di Washington DC, (c) Pusat Arbitrase Dagang
Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration),
berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia dan (d) Pusat Arbitrase Dagang
Regional untuk Afrika (Regional Centre for Commercial Arbitration),
berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
2. Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat
internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent,
yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat
sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan
sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan
oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ
dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah
berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan
konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang
baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa
Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini,
pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional
yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami
perubahan secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai
kewenangan untuk:
1. Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa,
yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
2. Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat
nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang
meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu
keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani,
1990; 217)
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional,
sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam
mengadili perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat
umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh
negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah
diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional
tambahan.
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex
aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan
berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar
negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya
final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga
diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara,
namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara
unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika
tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah
Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara
secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).