Rabu, 01 Februari 2012

Nama Perjanjian Internasional


Traktat (treaty) : yaitu persetujuan yang dilakukan oleh dua Negara atau lebih yang mengadakan hubungan antar mereka. Kekuatan traktat sangat ketat karena mengatur masalah-masalah yang bersifat fundamental.
Konvensi (convention) : yaitu persetujuan resmi yang bersifat multilateral atau persetujuan yang diterima oleh organ suatu organisasi internasional. Konvensi tidak berkaitan dengan kebijakan tingkat tinggi.
Deklarasi (declaration) : yaitu pernyataan bersama mengenai suatu masalah dalam bidang politik, ekonomi, atau hokum. Deklarasi dapat berbentuk traktat, perjanjian bilateral, dokumen tidak resmi, dan perjanjian tidak resmi.
Piagam (statue) : yaitu himpunan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional, baik tentang pekerjaan kesatuan-kesatuan tertentu maupun ruang lingkup hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan tanggung jawab lembaga-lembaga internasional.
Pakta (pact)  yaitu traktat dalam pengertian sempit yang pada umumnya berisi materi politis.
Persetujuan (agreement) : yaitu suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis administratif. Agreement ini biasanya merupakan persetujuan antar pemerintah dan dilegalisir oleh wakil-wakil departemen tetapi tidak perlu diratifikasi oleh DPR Negara yang bersangkutan. Sifat persetujuan tidak seformal traktat dan konvensi.
Protokol (protocol) : yaitu  persetujuan yang isinya melengkapi (suplemen) suatu konvensi dan pada umumnya dibuat oleh kepala Negara. Protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausal-klausal tertentu dari suatu konvensi.
Perikatan (arrangement) : yaitu suatu perjanjian yang biasanya digunakan untuk transaksi-transaksi yang bersifat sementara dan tidak seformal traktat dan konvensi.
Modus vivendi : yaitu dokumen untuk mencatat suatu persetujuan yang bersifat sementara.
Charter : yaitu istilah yang digunakan dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif.
Pertukaran nota (exchange of notes) : yaitu metode tidak resmi yang sering digunakan dalam praktik perjanjian internasional. Metode ini menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat mereka. Biasanya metode ini dilakukan oleh wakil-wakil militer dan Negara serta dapat bersifat nonagresi.
Proses verbal : yaitu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatik atau catatan-catatan suatu pemufakatan. Proses verbal ini tidak perlu diratifikasi.
Convenant : merupakan anggaran dasar dari PBB.
Ketentuan umum (general act) : yaitu traktat yang bersifat resmi dan tidak resmi.
Kompromis : yaitu tambahan atas persetujuan yang telah ada.
Ketentuan penutup (final act) : yaitu ringkasan-ringkasan hasil konferensi yang menyebutkan Negara-negara peserta, utusan-utusan dari Negara yang turut berunding, serta masalah-masalah yang disetujui dalam konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.

Menurut teori Dualisme

hukum internasional dan hukum nasional, merupakan
dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum
nasional  merupakan  dua  sistem  hukum  yang  terpisah,  tidak  saling  mempunyai
hubungan  superioritas  atau  subordinasi.  Berlakunya  hukum  internasional  dalam
lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada
pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu
negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional
saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu
adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri.
Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum
internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional.
(Burhan Tsani, 1990; 26)
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas  negara disegala sektor kehidupan
seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum
yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara.
Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan
antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan
hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara person
hukum tersebut dengan masyarakat sipil.

Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai.

Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam
hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi
mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di
Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2
ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-
Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar

Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan sengketa
mereka  dengan  cara  damai  sedemikian  rupa  agar  perdamaian,  keamanan
internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui
pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini
hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan
dapat ditempuh melalui:
1. Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah
pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas
oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku
pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara
penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah
disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting
dalam arbitrase adalah; (a) perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap
proses arbitrase, dan (b) sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum.
(Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara  esensial,  arbitrase  merupakan  prosedur  konsensus,  karenanya
persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri
dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk
oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang
diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan  arbitrase  dilaksanakan  oleh  suatu  “panel  hakim”  atau
arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan

perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan
compromis (kompromi) yang memuat; (a) persetujuan para pihak untuk terikat
pada keputusan arbitrase, (b) metode pemilihan panel arbitrase, (c) waktu dan
tempat  hearing (dengar  pendapat),  (d)  batas-batas  fakta  yang  harus
dipertimbangkan,  dan  (e)  prinsip-prinsip  hukum  atau  keadilan  yang  harus
diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase
internasional, antara lain (a) Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional
(Court  of  Arbitration  of  the  International  Chamber  of  Commerce)  yang
didirikan di Paris, tahun 1919, (b) pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman
Modal  Internasional  (International  Centre  for  Settlement  of  Investment
Disputes) yang berkedudukan di Washington DC, (c) Pusat Arbitrase Dagang
Regional  untuk  Asia  (Regional  Centre  for  Commercial  Arbitration),
berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia dan (d) Pusat Arbitrase Dagang
Regional  untuk  Afrika  (Regional  Centre  for  Commercial  Arbitration),
berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
2. Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat
internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent,
yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat
sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
Pasal  14  Liga  Bangsa-Bangsa  menugaskan  Dewan  untuk  menyiapkan
sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan
oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ

dari  Organisasi  Internasional  tersebut.  Hingga  pada  tahun  1945,  setelah
berakhirnya  Perang  Dunia  II,  maka  negara-negara  di  dunia  mengadakan
konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang
baru.  Di  San  Fransisco  inilah,  kemudian  dirumuskan  Piagam  Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa
Mahkamah  Internasional  merupakan  organ  hukum  utama  dari  Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini,
pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional
yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami
perubahan secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai
kewenangan untuk:
1. Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa,
yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
2. Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat
nasehat.  Advisory  Opinion tidaklah  memiliki  sifat  mengikat  bagi  yang
meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu
keputusan  wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani,
1990; 217)
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional,
sumber-sumber  hukum  internasional  yang  dipakai  oleh  Mahkamah  dalam
mengadili perkara, adalah:

1. Perjanjian  internasional  (international  conventions),  baik  yang  bersifat
umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh
negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah
diakui  kepakarannya,  yang  merupakan  sumber  hukum  internasional
tambahan.
 Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex
aequo  et  bono,  yaitu  didasarkan  pada  keadilan  dan  kebaikan,  dan  bukan
berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar
negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya
final,  tidak  dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga
diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara,
namun  semua  jenis  sengketa  dapat  diajukan  ke  Mahkamah  Internasional.
Masalah  pengajuan  sengketa  bisa  dilakukan  oleh  salah  satu  pihak  secara
unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika
tidak  ada  persetujuan,  maka  perkara  akan  di  hapus  dari  daftar  Mahkamah
Internasional,  karena  Mahkamah  Internasional  tidak  akan  memutus  perkara
secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).

Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional

Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan
dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan

hukum  nasional  merupakan  dua  sistem  hukum  yang  terpisah,  tidak  saling
mempunyai  hubungan  superioritas  atau  subordinasi.  Berlakunya  hukum
internasional  dalam  lingkungan  hukum  nasional  memerlukan  ratifikasi  menjadi
hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan
adalah hukum nasional suatu negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional
saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu
adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri.
Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan
hukum internasional.  Hukum nasional  tunduk dan harus  sesuai dengan hukum
internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)
Berangkat dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan
seperti politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum
yang diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar
negara. Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur
hubungan antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional),
menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang
terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.
Oleh karena itu hukum internasional adalah hukum masyarakat internasional
yang mengatur segala hubungan yang terjalin dari person hukum internasional serta
hubungannya dengan masyarakat sipil. Hukum internasional mempunyai beberapa
segi penting seperti prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent),
prinsip timbal balik (priniple of reciprocity), prinsip komunikasi bebas (principle of
free  communication),  princip  tidak  diganggu  gugat  (principle  of  inciolability),

prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal), prinsip eksteritorial
(principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain yang penting bagi hubungan
diplomatik antarnegara.
Maka  hukum  internasional  memberikan  implikasi  hukum  bagi  para
pelangarnya,  yang  dimaksud  implikasi  disini  ialah  tanggung  jawab  secara
internasional  yang  disebabkan  oleh  tindakan-tindakan  yang  dilakukan  sesuatu
negara atau organisasi internasional dalam melakukan segala tugas-tugasnya sebagai
person hukum internasional. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-
unsur terpenting dari hukum internasional; (a) Objek dari hukum internasional ialah
badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional, (b) Hubungan
yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional dalam
artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar negeri yang
melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan hukum negara yang
hanya mengatur hubungan dalam negeri dan (c) kaedah hukum internasional ialah
kaedah wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini yang membedakan
antara hukum internasional  dengan kaedah  internasional  yang berlaku  dinegara
tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat kebiasaan internasional.